Jumat, 19 Oktober 2012

Junaid al-Baghdadi


BAB I
PENDAHULUAN
1.      LATAR BELAKANG
Tasawuf adalah salah satu khasanah intelektual Muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin dirasakan. Secara historis dan teologis tasawuf tampil mengawali dan memandu perjalanan hidup umat agar selamat dunia akhirat. Tidak berlebihan jika misi utama kerasulan Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, dan sejarah mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliu antara lain karena dukungan akhlaknya yang prima, hingga hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam Al-Qur’an. Namun fenomena sekarang justru terdapat kontradiksi dari apa yang telah di contohkan oleh Rasulullah terhadap umat manusia. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman terhadap tasawuf, sedangkan tasawuf adalah salah satu yang dapat mendekatkan seorang hamba pada Tuhannya. Sehingga melahirkan akhlak yang Mulia.

Maka dari itu penulis akan membahas salah satu teori dari tokoh sufi yang bernama Junaid al-Bagdadi, yaitu fana. Dimana dalam konsep ini Junaid menjelaskan bahwa apabilah seseorang memiliki sifat fana tentu akhlak seseorang akan mulia.  
            Namun fana mempunyai interpretasi yang multimakna. Orang yang merenungkan apa yang telah disebutkan oleh para sufi tentang fana akan menemukan arti lebih dari satu. Sehingga fana kadang menunjukkan sebuah arti etika saat mereka mendefinisikannya sebagai sifat sebuah jiwa (nafs) atau hilangnya sifat-sifat tercela.Mereka juga beranggapan bahwa fana adalah sirnanya kehendak manusia, dan keberadaannya dalam kehendak Tuhan. Kondisi ini dapat mengacu dalam ayat al-Qur’an yang menyatakan “Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupanya), dan mereka melukai (jari tangannya)”.(QS. Yusuf: 31).
Fana berarti hilang atau hancur.Setelah diri hancur, diikuti oleh al-baqa, yang berarti tetap, terus hidup.al-fana dalam pengertian umum dapat dilihat dari penjelasan Al-Junaid: “hilangnya daya kesadaran kalbu dari hal-hal yang bersifat indrawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus silih berganti hingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indra”. Konsep fana inilah yang mendasari serta mendominasi pemikiran tasawuf pada abad ke 3 dan ke 4 H, termasuk pemikiran tasawuf Al-Junaid.

2. RUMUSAN MASALAH
a.       Bagaimana Biografi Al-Junaid Al-Baghdadi?
b.      Ajaran dan Pemikirannya Al-junaid?


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Biografi  Al-Junaid Al-Baghdadi
Nama lengkap al-Junaid adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Khazzaz al-Nihawandi, lahir di Wihawand, Irak. Menetap sampai meninggal di Baghdad pada tahun 297 H (910 M). Al-Junaid adalah salah seorang sufi terkemuka di samping seorang ahli fiqih. Dalam fiqih beliau bermadzhab kepada Imam Abu Tsaur. Al-Junaid sudah memberikan fatwa-fatwa hukum dalam madzhab tersebut dalam umurnya yang baru 20 tahun. Beliau lama bergaul dan belajar kepada pamannya sendiri, yaitu Imam Surri al-Saqt}i, lalu kepada al-Haris\ al-Muhasibi, Muhammad bin al-Qas}s}a>b al-Baghda>diy, dan sufi terkemuka lainnya. Al-Junaid terkenal dengan konsep tauhidnya yang di dasarkan kefanaan. Menurutnya, pemahaman hakikat Allah tidak akan dapat di capai dengan akal pikiran, tetapi melalui kefanaan. Kefanaan ini merupakan pemberian dari Tuhan.[1]
Kefanaan menurutnya adalah peniadaan diri dan segala sesuatu, kecuali Allah yang kemudian hidup dalam dia (Allah) yang ia sebut dengan baqa’. Suatu ketika Al-Junaid ditanya tentang tauhid bagi orang Khawa>s (kelompok tertentu). Ia menjawab, “Hendaklah seseorang menjadi pribadi yang berada di tangan Allah dan segala kehendak-Nya berlaku bagi dirinya. Hal ini tidak bisa tercapai, kecuali dengan menjadikan dirinya fana’ terhadap dirinya dan makhluk sekitarnya. Dengan sirnanya perasaan dan kesadarannya, seluruhnya berlaku kehendak Allah SWT.  Al-Junaid mengatakan:
“Tauhid yang secara khusus dianut para sufi adalah pemisahan antara yang Qadi>m dengan yang hudu>s\. Dengan pemikiran seperti ini, al-Junaid di pandang sebagai orang yang mendasarkan tasawuf pada al-Qur’an dan al-Sunnah.”
Menurut fana oleh para kaum sufi dapat berarti lenyapnya sifat-sifat kemanusiaan, akhlak yang tercela, dan kejahilan dari diri seorang sufi kemudian kekalnya (baqa) sifat-sifat ketuhanan, Akhlak yang mulia, dan pengetahuan dalam dirinya. Fana juga dapat berarti al-fana’ al-nafs, yakni leburnya perasaan dan kesadaran tentang adanya tubuh kasar seorang sufi dan wujud jasmani sudah di rasakan tidak ada lagi. Pada kondisi ini yang tinggal hanyalah wujud rohani dan di dalam dirinya.[2]
Al-fana dalam pengertiannya yang umum dapat dilihat dari penjelasan al-Junaid berikut ini. Hilangnya daya kesadaran qalbu dari hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indera.
Dari pengertian ini terlihat, bahwa yang lebur atau fana itu adalah kemampuan dan kepekaan menangkap yang bersifat materi atau inderawi, sedangkan materi (jasad) manusianya tetap utuh dan sama sekali tidak hancur. Jadi,yang hilang hanyalah  kesadaran akan dirinya sebagai manusia sebagaimana di jelaskan oleh Al-Qusyairi:
Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya itu. Sebenarnya dirinya tetap ada tetapi ia tidak sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya.
Dalam proses al-fana ada empat situasi getaran psikis yang alami seseorang, yaitu al-sakar, al-sathohat, al-zawal al-hijab, dan ghalab al-syuhud. Sakar adalah situasi kejiwaan yang terpusat penuh kepada satu titik sehingga ia melihat dengan perasaannya, seperti apa yang dialami oleh nabi Musa as di Turnisa. Secara bahasa, sathohat berarti gerakan, sedangkan dalam istilah tasawuf dipahami sebagai suatu ucapan yang terlontar diluar kesadaran, kata-kata yang diucapan dalam keadaan sakar, al-zawal al-hijab, nampaknya diartikan dengan bebas dari dimensi sehingga ia keluar dari alam materi dan telah ber”ada” di alam ilahiya sehingga getar jiwanya dapat menangkap gelombang cahaya dan suara Tuhan. Nampaknya pengertian ini sama dengan atau mirip dengan al-mukasyafah. Sedangkan ghalab al-syuhud diartikan sebagai tingkat kesempurnaan musyahadah,pada tingkat yang mana ia lupa pada dirinya dan alam sekitarnya. Yang diingat dan dirasa hanya Allah seutuhnya. Dalam literatur barat ditemukan pengertian al-fana sebagai”the passing away of the sufi from his phenomenal existence, involves baqa, the continuance of his real existence.
Apabila dilihat dari sudut kajian psikologi, terlihat suatu karakteristik fana mistis, yaitu hilangnya kesadaran dan perasaan, di mana seseorang (sufi) tidak merasakan lagi apa yang terjadi dalam organismenya dan tidak pula merasakan ka-aku-annya serta alam sekitarnya. Dengan demikian terlihat, bahwa fana adalah kondisi intuitif, di mana seseorang untuk beberapa saat kehilangan kesadarannya terhadap ego-nya, yang dalam bahasa awal barangkali dapat dikatakan sebagai terkesima atau bahasa yang sejenis. Karena, apabila diteliti apa yang dikatakan al-Qusyairi di atas bahwa fana itu adalah terkesimannya seseorang dari segala rangsangan dan yang tinggal hanyalah satu kesadaran, yaitu hanya Dzat Mutlak. Hanya satu daya yang mendominasi seluruh ekpresinya, yaitu daya hakikat Tuhan, itulah yang disebut fana dari makhluk. Oleh karena sifatnya yang demikian, maka fana itu sebernarnya adalah suatu keadaan incidental, artinya tidak berlangsung secara terus-menerus. Perlu yang dicatat, bahwa menurut penganut paham fana, kemampuan itu adalah karunia Allah sehingga tak dapat diperoleh melalui latihan yang bagaimanapun.[3]
Pada perkembangan yang awal kelihatannya ada dua aliran al-fana, satu aliran yang berpaham moderat yang diwakili al-Junaid al-Baghdadi, biasanya disebut fana fi al-tauhid. Kalau seorang telah larut dalam ma’rifatulloh dan ia tidak menyadari segala sesuatu selain Allah, maka ia telah fana dalam tauhid. Aliran fana yang kedua dipelopori oleh Abu Yazid al-Busthami yang mengartikan al-fana sebagai penyatuan  dirinya dengan Tuhan.
Di kalangan sufi Al-Junaid dikenal sebagai pemuka dan pimpinan mereka dengan gelar Sayyid al-Tha’ifah al-Shu>fiyyah.
Abu Ali al-Raudzabari berkata: “Saya mendengar Al-Junaid berkata kepada orang yang mengatakan bahwa ahli ma’rifat dapat sampai kepada suatu keadaan yang tidak lagi baginya untuk berbuat apapun, Artinya menurutnya orang tersebut boleh meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang telah diwajibkan, Al-Junaid berkata kepadanya: “Ini adalah perkataan kaum yang berpendapat segala perbuatan-perbuatan akan gugur. Dan ini bagiku adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Seorang pelaku zina dan seorang yang mencuri jauh lebih baik dari pada orang memiliki pendapat seperti itu. Sesungguhnya, orang-orang yang ‘Arif Billah adalah mereka yang mengerjakan seluruh pekerjaan sesuai perintah Allah, karena hanya kepada-Nya pekerjaan-pekerjaan itu kembali. Andaikan aku hidup dengan umur 1000 tahun, dan aku tidak meninggalkan kebaikan sedikitpun selama umur tersebut, maka kebaikan itu tidak akan dianggap oleh Allah kecuali bila sesuai dengan apa yang telah diperintahkannya. Inilah keyakinan yang terus memperkuat ma’rifat-ku dan memperkokoh keadaanku”.
Sejak kecil, al-Junaid terkenal sebagai seorang anak yang cerdas, sehingga sangat mudah dan cepat belajar ilmu-ilmu agama dari pamannya. Karena kecerdasannya itu, ketika berumur tujuh tahun, Al-Junaid telah diuji oleh gurunya dengan sebuah pertanyaan tentang makna syukur. Kehidupan Al-Junaid al-Baghdadi, di samping sebagai seorang sufi yang senantiasa mengajarkan ilmunya kepada murid-muridnya, ia juga sebagai pedagang barang-barang pecah belah di pasar tradisional. Selesai berdagang, beliau pulang ke rumah dan mampu mengerjakan shalat dalam waktu sehari semalam sebanyak empat ratus rakaat.[4]
Al-Junaid al-Baghdadi adalah seorang sufi yang mempunyai prinsip tak kenal putus asa. Terbukti, misalnya dalam ibadah, baik di kala sehat maupun sakit, ia senantiasa konsisten melaksanakannya; bahkan, dalam keadaan sakit, ia merasa semakin dekat dengan Allah. Di samping itu, al-Junaid memiliki sifat tegas dalam pendirian. Ini terlihat ketika ia menandatangani surat kuasa untuk menghukum mati muridnya sendiri, Husain bin Mansur al-Hallaj (w. 309/ 922 M), sufi pencetus al-hulul. Dalam surat kuasa itu, ia menulis dengan tegas, “Berdasarkan syari’at, ia (al-Hallaj) bersalah, tetapi menurut hakikat, Allah Yang Maha Mengetahui”. Dalam masa-masa hidupnya, Al-Junaid menghadapi kendala dalam mengajarkan tasawufnya, terutama dari kaum ortodok. Karena perlawanan mereka terhadap para sufi yang terjadi ketika itu, maka Al-Junaid melakukan praktik-praktik spiritual dan mengajari murid-muridnya di balik pintu terkunci. Dari surat-suratnya atau risalah-risalah singkatnya dan keterangan dari para sufi serta penulis biografi sufi sesudahnya, dapat dipandang bahwa jalan hidup Al-Junaid merupakan perjuangan yang permanen untuk kembali ke “Sumber” segala sesuatu, yakni Tuhan.
Bagi al-Junaid, cinta spiritual (mahabbah) berarti bahwa, “Sifat-sifat Yang Dicintai menggantikan sifat-sifat si pencinta”. Al-Junaid memusatkan semua yang ada dalam pikirannya, semua kecenderungannya, kekagumannya, dan semua harapan dan ketakutannya, hanya kepada Allah SWT . Untuk itulah, dengan paham-paham ketasawufannya, ia sering dipandang sebagai seorang syaikh sufi yang kharismatik di kota Bahgdad. Banyak tarekat sufi yang silsilahnya melalui al-Junaid. Paham dan amalan tasawuf al-Junaid ini banyak digali dari pengalaman-pengalaman ketasawufannya; namun demikian, konsep-konsep pemikiran tasawufnya masih belum tersusun secara sistematis, tetapi lebih banyak dijelaskan lewat ungkapan-ungkapan verbalnya.
Dari ungkapan-ungkapan itulah bisa dipahami konsep tasawufnya. Misalnya, ketika ia menjelaskan tentang tasawuf yang dijalaninya, ternyata ia peroleh dari pengalaman kezuhudan dan kesederhanaannya terhadap dunia. Dalam hal ini, Sai’id Hawwa pernah mengutip pernyataan al-Junaid, yang mengungkapkan, “Kami tidak mengambil tasawuf dari pembicaraan atau kata-kata, melainkan dari lapar dan keterlepasan dari dunia ini, dan dengan meninggalkan hal-hal yang sudah biasa dan kami senangi”. Sikap hidup fakir dan keterlepasan dari kemewahan dunia menjadi penting dalam kehidupan sufistik menurut pandangan al-Junaid.
Al-Junaid memandang tasawuf sebagai jalan kearifan manusia dalam menjalankan hidupnya. Dalam hal ini ia pernah ditanya tentang orang yang disebut arif (sufi) sebagai berikut, “Siapakah orang arif (sufi) itu?” Ia menjawab, orang arif adalah orang yang tidak terikat oleh waktu.” Kehidupan tasawuf yang dilakukan seseorang merupakan jalan penyucian hati dan jalan kekhusukan untuk mengingat Dia. Perkataan Al-Junaid yang berhubungan dengan hal ini adalah: “Tuhan menyucikan “hati” seseorang menurut kadar khusuknya dalam mengingat dia. Al-Junaid mengatakan:”Sabar itu meneguk kepahitan tanpa cemberut muka.” Selain itu, al-Junaid al-Baghdadi juga mempunyai pemikiran tentang bast (rasa lapang) dan qabd (rasa kecut). Bast yang dimaksud adalah istilah tasawuf yang berarti suasana kelapangan jiwa melalui harapan atau kegembiraan rohani akan datangnya rahmat Allah. Di kalangan para sufi, bast dan qabd merupakan kelanjutan dari raja’ (harap) dan khauf (takut), yang keduanya merupakan cara untuk meminta perlindungan dari Tuhan. Untuk melihat bagaimana bast dan qabd sebagai kelanjutan dari raja’ dan khauf ini, dapat disimak ungkapan yang dikemukakan Al-Junaid sebagai berikut: “Takut (khauf) kepada Allah membuatku menjadi qabd, dan harap (raja’) kepada-Nya membuatku manjadi bast. Dengan al-haqiqah (hakikat) Dia mempersatukanku dengan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia membuatku qabd dan khauf, Dia menghancurkan eksistensi kemanusiaanku. Apabila Dia membuatku bast dan raja’, Dia mengembalikan eksistensi kemanusiaanku. Jika Dia mengumpulkanku dengan al-haqiqah, Dia menghadirkanku. Jika Dia memisahkanku dengan al-haqq (Tuhan), Dia menyaksikanku dalam eksistensi yang lain. Maka ketika itu aku dalam keadaan gelap gulita, dan menjadi tidak sadarkan diri. Ketika itu Dialah yang Yang Maha Tinggi yang menggerakkanku tanpa mendiamkanku dan Dia yang membuatku takut dan cemas tanpa membuatku merasakan adanya belaian kasih. Ketika eksistensi kemanusiaanku hadir, aku merasakan keberadaanku. Dan ketika eksistensi kemanusiaanku lepas, aku merasa hancur tidak sadarkan diri.” Al-Junaid al-Baghdâdî yang terkenal dengan julukan sayyid at-ta’ifah (sesepuh kaum sufi), menjelaskan bahwa cinta murni itu tercapai setelah adanya proses transformasi sifat-sifat yang dicintai pada diri pencinta secara total .
Dari kutipan-kutipan di atas, maka jelas sekali tasawuf al-Junaid berlandaskan al-Quran dan hadis\. Ia menjauhi praktek yang bertentangan dengan syariat Islam. Adapun dasar-dasar pemikiran al-Junaid tentang tasawuf yang dapat penulis analisis adalah sebagai berikut:
1)      Seorang sufi harus meninggalkan kelakuan dan sifat-sifat yang buruk dan menjalankan budi pekerti yang baik, sesuai dengan ajaran-ajaran tasawuf yang selalu mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan budi pekerti yang jelek.
2)      Ajaran tasawuf adalah ajaran-ajaran yang dapat memurnikan hati manusia dan mengajarkan sifat-sifat baik dan meninggalkan sifat-sifat alamiah yang bisa merusak kesucian jiwa, menahan manusia dari godaan jasmani, mangambil sifat-sifat ruhani, mengingatkan diri pada ilmu hakikat, mengingat Allah swt dan rasul-Nya, Muhammad saw.
3)      Memalingkan perhatian dari urusan duniawi kepada urusan ukhrawi. Bagi orang beriman, meninggalkan pergaulan dengan sesama (manusia) masih mudah dan berpaling kepada Allah sulit. Ternyata berpaling dari nafsu lebih sulit lagi. Untuk itu, melawan nafsu adalah sangat penting untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hal ini, al-Hujwiri mengutip bahwa al-Junaid pernah ditanya, “apakah persatuan dengan Tuhan?” dia menjawab, “meniadakan hawa nafsu,” karena di antara semua tindakan ibadah yang diridhai Tuhan, tiada yang lebih besar nilainya dari pada menundukkan hawa nafsu. Menghancurkan gunung lebih mudah bagi seorang manusia dari pada menundukkan hawa nafsunya.”
4)      Manusia harus berpegang teguh kepada tauhid, termasuk dalam bertasawuf. Arti tauhid, menurut al-Junaid, adalah mengesakan Allah swt. dengan sesempurna-Nya. Bahwa sesungguhnya Allah itu Esa, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak berjumlah dan tidak pula tersusun, dan tak satupun yang menyerupai-Nya, Dia Maha Mendengar, Dia Maha Melihat dan Maha Tunggal, dan seterusnya.
5)      Orang sufi harus bisa melakukan tiga syarat amalan, yaitu: (a) melazimkan dzikr secara kontinu yang disertai himmah dan dengan kesadaran yang penuh; (b) mempertahankan tingkat kegairahan atau semangat yang tinggi; (c) senantiasa melaksanakan syari’at yang ketat dan tepat dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu, dalam soal berpegang teguh pada syari’at, maka al-Junaid seperti dikutip Sa’id Hawwa, pernah menuduh orang yang menjadikan wusul (mencapai) Allah sebagai tindakan untuk melepaskan diri dari hukum-hukum syari’ah. Dalam persoalan ini dengan tegas ia menyatakan, “Betul mereka sampai, tetapi ke neraka Saqar.” Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab fiqih pernah berkata, “Barang siapa mendalami fiqih tanpa bertasawuf ia fasik, barang siapa yang mendalami tasawuf tanpa mendalami fiqih ia zindiq, dan barang siapa yang melakukan keduanya ia ber-tahaqquq (meraih kebenaran).”
Jadi, tasawuf merupakan hal yang mesti, dapat dijadikan sebagai penyempurna fiqih. Begitu juga fiqih, dapat menjadi koridor tasawuf dan kaidah pengendali amal dalam mengarah kepada-Nya. Jika salah satu dari dua disiplin ilmu tersebut hilang, itu berarti separuh telah tiada. [5]
B.   Ajaran dan Pemikirannya Al-junaid
1.      Tentang Tasawuf
Menurut Junaid al-Baghdadi, tasawuf adalah menjaga waktu (dapat menggunakan waktu secara benar), juga seseorang tidak berbuat di luar kemampuannya, tidak menyetujui sesuatu kecuali dari Allah, tidak menyertakan perbuatan-perbuatan lain selain waktunya. Lalu seseorang bertanya kepada Junaid, “Apakah tasawuf itu ?” Junaid lalu berkata: ”Tasawuf ialah bersatunya hati seseorang dengan yang Maha Benar (Allah), dan hal ini tidak bisa dicapai kecuali dengan menghilangkan keinginan-keinginan hawa nafsu demi untuk menguatkan jiwa dan berada bersama dengan yang Maha Benar (Allah).”Adapun kaedah tasawuf menurut Junaid al-Baghdadi adalah ; “Memurnikan atau membersihkan hati atau jiwa dari pengaruh keduniaan, menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela, mengendalikan sifat-sifat kemanusiaan (biologis), menghindar dari godaan hawa nafsu, menghias diri dengan hal-hal yang bersifat ruhaniyah dengan melalui ilmu-ilmu hakekat, lebih cenderung pada sesuatu yang bersifat kekal atau abadi, selalu memberikan nasehat kepada manusia tentang kebenaran dan mengikuti Rasulullah dalam syari’at.”
2.       Tauhid
Pandangan Junaid al-Baghdadi secara umum mengenai tauhid adalah
orang-orang yang Meng-Esa-kan Allah (muwahhid) ialah mereka yang merealisasikan ke-Esa-anNya dalam arti yang sempurna, menyakini bahwa Ia adalah Maha Esa. Ia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Menafikan segala bentuk yang mensyarikatkan-Nya, Ia tidak diserupakan, tidak bisa diuraikan, tidak bisa digambarkan dan tidak bisa ditamsilkan. Tuhan itu Maha Esa tanpa padanan dengan sesuatupun, dan Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.[6]
Sedangkan tauhid dalam perspektif sufistik, Junaid al-Baghdadi menyatakan bahwa: “Tauhid adalah hal yang berhubungan dengan penyucian Allah dari sifat-sifat yang baharu. Bahkan ia juga menafikan dari hal-hal yang dapat meleburnya sesuatu yang lain kepada Allah. Maka tauhid menurut Junaid al-Baghdadi adalah kita mengetahui dan meng-ikrarkan bahwa Allah itu sejak zaman azali sendiri, tidak ada dua beserta-Nya, dan tidak ada sesuatu perbuatan yang sama dengan perbuatan-Nya, dan tidak ada yang menyerupai-Nya. Tauhid adalah jalan untuk mengenal Allah (ma’rifatullah). Hal ini didasari oleh keyakinan dan pembenaran iman, bukan dengan keraguan. Pandangan ini menunjukkan penolakan Junaid terhadap konsep al-ittihad atau al-hulul dan juga wahdat al-wujud. Ibarat yang demikian menunjukkan bahwa ia adalah seorang sufi muslim dan mukmin yang dikenal dengan paham wahdat asy-syuhud. Ajaran wahdat asy-syuhud Junaid al-Baghdadi sebagaimana dikemukakan Muhammad Jalal Syarif adalah ”persatuan dalam kesaksian, yaitu adanya pembatas bagi setiap sufi ketika berakhir atau tercapainya cita-citanya menuju jalan Allah. Suatu keadaan di mana perasaan seorang hamba menyaksikan kehadiran Allah dalam segala sesuatu, sedangkan wujud Allah adalah milik Allah.Tauhid yang hakiki menurut Junaid al-Baghdadi adalah buah dari fana’ terhadap semua selain Allah. Ia menyatakan bahwa tauhid secara khusus dalam terminologi sufistik adalah adalah pemisahan yang qadim dari yang hudus, keluar dari alam dirinya dan memutuskan cintanya kepada hal-hal yang duniawi, dan meninggalkan apa yang diketahui dan tidak diketahui dengan menjadikan Tuhan sebagai tempat bagi semuanya. Jadi hakekat tauhid itu adalah betul-betul mengesakan-Nya, Dia adalah Dia. Ini adalah kesadaran tertinggi bagi seorang muwahhid dalam mengesakan-Nya.
Pengertian tauhid menurut Junaid Al-Baghdadi mengandung unsur utama “pemisahan yang baqa’ dan yang fana’. Atau dengan kata lain pemisahan yang qidam dan hudus. Ketika menjelaskan sebuah hadis : “Manakala Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya, hingga melalui Aku ia mendengar,” Junaid al-Baghdadi berkata: ”Kalau demikian, maka Allah-lah yang memampukannya. Dialah menjadikannya mampu mencapai hal ini. Dialah yang menuntunnya dan mengkaruniakan padanya hakekat dan kebenaran. Dengan demikian, ia adalah perbuatan Allah lewat dirinya.
Pengertian tauhid secara khawas atau sufistik menurut Junaid al-Baghdadi dapat dicapai manakala sang sufi membuat dirinya fana’ terhadap dirinya dan makhluk sekitarnya, dengan sirnanya perasaan dan gerakannya, akibat apa yang dia kehendaki dikendalikan yang Maha Benar. Dalam hal ini Junaid al-Baghdadi menyatakan bahwa tasawuf berarti bahwa “Allah akan menyebabkan engkau mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya. ”Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana’. Dengan kefanaan dalam tauhid, seorang sufi bisa merealisasikan keinginan untuk keluar dari ruang sempit menuju kefanaan abad luas. Fana’ dalam tauhid adalah jalan ilmu dan ma’rifah, keadaan dan kesempurnaan, yang kepadanya tidak datang kebathilan baik dari depannya maupun dari belakangnya, dan tidak ada penyimpangan baik pada permulaannya maupun pengujungnya. Konsep kefanaan dalam tauhid ini pertama kali dikemukakan oleh Junaid al-Baghdadi, dan didukung oleh para sufi Sunni sesudahnya.
3.       Ma’rifat
Para kaum sufi berbeda pendapat tentang ma’rifat itu sendiri. Masing-masing mereka mengemukakan pendapatnya. Mengenai pengertian ma’rifat ini, Junaid al-Baghdadi    berkata: “Ma’rifat adalah adanya kebodohan pada dirimu dikala berkembangnya ilmu kamu.” Lalu ada seseorang meminta kepadanya, “Ceritakanlah kepada kami dengan lebih banyak lagi. ”Suatu ketika Dia sebagai subyek (Yang Mengetahui), dan di ketika yang lain Dia sebagai obyek (yang diketahui),” kata Junaid. Artinya, sesungguhnya kamu tidak mengetahui-Nya karena dirimu, tetapi sesungguhnya kamu mengetahui-Nya karena Dia. Abu Bakr Muhammad Al-Kalabazi menyatakan bahwa Junaid al-Baghdadi pernah berkata ;
Ma’rifat itu ada dua macam, yaitu ma’rifat ta’arruf dan ma’rifat ta’rif. Ma’rifat ta’arruf adalah bahwa Allah memberitahukan kepada orang banyak akan diri-Nya dan memberi tahu orang banyak akan hal-hal yang menyerupai-Nya seperti perkataan Nabi Ibrahim as., “Saya tidak menyukai barang sesuatu yang terbenam.” Adapun arti ma’rifat ta’rif adalah Allah memberi tahu orang banyak akan bekas-bekas kekuasaan-Nya dalam cakrawala dan dalam diri manusia. Kemudian secara halus terjadilah kejadian benda-benda yang menunjukkan kepada orang bahwa mereka itu ada yang menciptakan, yaitu Allah.Semua orang tidak mendapat ma’rifat terhadap hakikat Allah kecuali karena-Nya sendiri. Dalam pandangan Junaid al-Baghdadi, seorang sufi tidak akan mencapai ma’rifat kecuali melalui maqamat dan al-ahwal. Sebagaimana ia menyatakan, tidak akan sampai seseorang hamba kepada hakikat ma’rifat dan kemurnian tauhid, sehingga ia melalui ahwal dan maqamat.
4.      Syathahat Sufi
Junaid al-Baghdadi sebagai imam kaum sufi, ketika ditanya tentang syathahat sufi, ia menjelaskan : “Syathahat itu adalah keadaan seorang sufi dalam kondisi yang tidak sadarkan diri. Dan cenderung lebih banyak diam, tetap pada posisinya daripada berbicara dan bergerak.” Dalam hal ini, seorang sufi sedang mengalami suatu tingkatan yang membatasi dirinya dengan penciptanya. Dan kepribadiannya lebur ke dalam zat Ilahi, kemudian naik ke alam cahaya, di mana di hadapannya hal-hal yang ghaib terungkap.
Dari konsep di atas, jelas sekali perbedaan antara Junaid al-Baghdadi dengan para sufi pantheis (penganut paham wahdat al-wujud). Ia secara tegas menetapkan pemisahan antara Allah dengan makhluk. Sementara para sufi penganut pantheis menyatakan tidak adanya perpisahan antara keduanya, dan wujud adalah satu dan tidak berbilang sama sekali. Sebagai tokoh sufi, Junaid al-Baghdadi memahami syathahat yang dialami sufi sebagaimana pengalaman Abu Yazid al-Bustami. Junaid al-Baghdadi menandaskan bahwa dalam keadaan trance, sorang sufi tidak mengucapkan tentang dirinya sendiri, tentang apa yang disaksikannya pada saat mengalami keadaan trance, yaitu Allah Swt.
Suatu ketika diriwayatkan kepada Junaid al-Baghdadi, bahwa Abu Yazid al-Bustami mengatakan, “Maha Suci Aku ! Maha Suci Aku !Aku inilah Tuhanku yang Maha Luhur.”Maka Junaid al-Baghdadi berkata, “Dia begitu terpesona oleh penyaksian terhadap Allah sehingga dia mengucapkan apa yang membuatnya terpesona. Penglihatan terhadap yang Maha Benar membuatnya terbuai, di mana tidak ada yang dia saksikan kecuali yang Maha Benar, sehingga ia meratapi-Nya. Abu Yazid al-Bustami, sekalipun agung kondisinya dan tinggi isyaratnya, tidaklah keluar dari kondisi permulaannya, dan darinya belum pernah aku mendengar sepatah kata yang menunjukkan kesempurnaan pada kesempurnaan dan akhir. Pendapat Junaid al-Baghdadi ini mempunyai makna bahwa Abu Yazid al-Bustami dan juga al-Hallaj, adalah kelompok sufi yang tidak bisa mengendalikan diri, serta orang yang tunduk pada intuisi. Dengan sendirinya hal itu membuat mereka tetap dalam keadaan permulaan, dan tidak bisa menjadi panutan bagi sufi lainnya. [7]


BAB III
PENUTUP
1.     Kesimpulan
Abu al-Qasim Junaid al-Baghdadi adalah salah seorang tokoh penting dalam sejarah tasawuf.Ia termasuk tokoh sufi yang memadukan syari’at dengan hakekat, dan kelompok sufi yang tidak suka mengeluarkan syathahat, atau ungkapan-ungkapan ganjil. Dia lebih mendahulukan kesadaran daripada ketidaksadaran, keterpisahan ketimbang keterpaduan. Sementara di lain pihak, ada kelompok sufi yang menganut doktrin ketidaksadaran, keterpaduan (wahdat al-wujud) dalam pengalaman cinta mereka kepada Allah, sehingga mereka suka mengungkapkan ucapan-ucapan ganjil, yang dikenal dengan syathahat.
Dalam kalangan sufi sebagaimana dikemukakan Junaid, bahwa para sufi yang dalam kondisi trance, tidak bisa dijadikan panutan. Yang lebih sempurna adalah seorang sufi yang telah mapan, dan bukannya seorang sufi yang masih dalam keadaan trance. Sebab trance adalah awal, sementara kemapanan adalah akhir.
Al-Junaid terkenal dengan konsep tauhidnya yang di dasarkan kefanaan. Menurutnya, pemahaman hakikat Allah tidak akan dapat di capai dengan akal pikiran, tetapi melalui kefanaan. Kefanaan ini merupakan pemberian dari Tuhan.
Namun fana mempunyai interpretasi yang multimakna. Orang yang merenungkan apa yang telah disebutkan oleh para sufi tentang fana akan menemukan arti lebih dari satu. Sehingga fana kadang menunjukkan sebuah arti etika saat mereka mendefinisikannya sebagai sifat sebuah jiwa (nafs) atau hilangnya sifat-sifat tercela.Mereka juga beranggapan bahwa fana adalah sirnanya kehendak manusia, dan keberadaannya dalam kehendak Tuhan. Kondisi ini dapat mengacu dalam ayat al-Qur’an yang menyatakan “Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupanya), dan mereka melukai (jari tangannya)”.(QS. Yusuf: 31). Fana berarti hilang atau hancur.Setelah diri hancur, diikuti oleh al-baqa, yang berarti tetap, terus hidup.al-fana dalam pengertian umum dapat dilihat dari penjelasan Al-Junaid: “hilangnya daya kesadaran kalbu dari hal-hal yang bersifat indrawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus silih berganti hingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indra”. Konsep fana inilah yang mendasari serta mendominasi pemikiran tasawuf pada abad ke 3 dan ke 4 H, termasuk pemikiran tasawuf Al-Junaid.

2.     Kritik dan saran
Dalam perincian makalah kami ini, sebagai manusia tentunya menyadari masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun kami butuhkan untuk pembaharuan dalam penyusunan makalah yang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufiq. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002).
Al-Kalabazi, Abu Bakar. Ajaran-Ajaran Sufi, (Bandung: Pustaka Salman, 1985).
Al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, (Kairo: t.p, 1966).
Al-Taftazani, Abu Wafa’ al-Ghanimi. Tasawuf Islam: Telaah Historis dan Perkembangannya. Terj. Subhkan Anshori (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008).
Bachrun, Rifa’i. “Filsafat tasawuf” (Cet.1; Bandung: PUSTAKA SETIA, 2010).
Rivay, Siregar. “TASAWUF: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme” (Cet II; Fajar Inter Pratama Offset, 2002).
Slamet, Riyadi. “Sufisme Klasik: Menelusuri Tradisi Teks Sufi" (Cet I; Bandung: Mimbar Pustaka, 2003).




[1]Rifa’i Bachrun, “Filsafat tasawuf” (Cet. I; Bandung: PUSTAKA SETIA, 2010), hal. 35.
[2]Al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah, (Kairo: t.p, 1966), hal. 33.
[3]Siregar Rivay, “TASAWUF: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme” (Cet II; Fajar Inter Pratama Offset, 2002), hal. 97.
[4]Taufiq Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hal. 86.
[5]Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam: Telaah Historis dan Perkembangannya. Terj. Subhkan Anshori (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), hal. 54.
[6]Riyadi Slamet, “Sufisme Klasik: Menelusuri Tradisi Teks Sufi" (Cet I; Bandung: Mimbar Pustaka, 2003), hal. 24.
[7]Abu Bakar Al-Kalabazi, Ajaran-Ajaran Sufi, (Bandung: Pustaka Salman, 1985), hal. 43.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar