BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR
BELAKANG
Tasawuf adalah salah satu
khasanah intelektual Muslim yang kehadirannya hingga saat ini semakin
dirasakan. Secara historis dan teologis tasawuf tampil mengawali dan memandu
perjalanan hidup umat agar selamat dunia akhirat. Tidak berlebihan jika misi
utama kerasulan Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, dan
sejarah mencatat bahwa faktor pendukung keberhasilan dakwah beliu antara lain
karena dukungan akhlaknya yang prima, hingga hal ini dinyatakan oleh Allah di
dalam Al-Qur’an. Namun fenomena sekarang justru terdapat kontradiksi dari apa
yang telah di contohkan oleh Rasulullah terhadap umat manusia. Hal ini
disebabkan kurangnya pemahaman terhadap tasawuf, sedangkan tasawuf adalah salah
satu yang dapat mendekatkan seorang hamba pada Tuhannya. Sehingga melahirkan
akhlak yang Mulia.
Maka dari itu penulis akan
membahas salah satu teori dari tokoh sufi yang bernama Junaid al-Bagdadi, yaitu
fana. Dimana dalam konsep ini Junaid menjelaskan bahwa apabilah seseorang
memiliki sifat fana tentu akhlak seseorang akan mulia.
Namun fana
mempunyai interpretasi yang multimakna. Orang yang merenungkan apa yang telah
disebutkan oleh para sufi tentang fana akan menemukan arti lebih dari satu.
Sehingga fana kadang menunjukkan sebuah arti etika saat mereka
mendefinisikannya sebagai sifat sebuah jiwa (nafs) atau hilangnya sifat-sifat
tercela.Mereka juga beranggapan bahwa fana adalah sirnanya kehendak manusia,
dan keberadaannya dalam kehendak Tuhan. Kondisi ini dapat mengacu dalam ayat
al-Qur’an yang menyatakan “Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka
kagum kepada (keelokan rupanya), dan mereka melukai (jari tangannya)”.(QS.
Yusuf: 31).
Fana berarti hilang atau
hancur.Setelah diri hancur, diikuti oleh al-baqa, yang berarti tetap, terus
hidup.al-fana dalam pengertian umum dapat dilihat dari penjelasan Al-Junaid:
“hilangnya daya kesadaran kalbu dari hal-hal yang bersifat indrawi karena
adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena
hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus silih berganti hingga
tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indra”. Konsep fana inilah yang
mendasari serta mendominasi pemikiran tasawuf pada abad ke 3 dan ke 4 H,
termasuk pemikiran tasawuf Al-Junaid.
2. RUMUSAN MASALAH
a.
Bagaimana
Biografi Al-Junaid Al-Baghdadi?
b.
Ajaran
dan Pemikirannya Al-junaid?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Al-Junaid Al-Baghdadi
Nama lengkap al-Junaid adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin
Muhammad al-Khazzaz al-Nihawandi, lahir di Wihawand, Irak. Menetap sampai
meninggal di Baghdad pada tahun 297 H (910 M). Al-Junaid adalah salah seorang
sufi terkemuka di samping seorang ahli fiqih. Dalam fiqih beliau bermadzhab
kepada Imam Abu Tsaur. Al-Junaid sudah memberikan fatwa-fatwa hukum dalam
madzhab tersebut dalam umurnya yang baru 20 tahun. Beliau lama bergaul dan
belajar kepada pamannya sendiri, yaitu Imam Surri al-Saqt}i, lalu kepada
al-Haris\ al-Muhasibi, Muhammad bin al-Qas}s}a>b al-Baghda>diy, dan sufi
terkemuka lainnya. Al-Junaid terkenal dengan konsep tauhidnya yang di dasarkan
kefanaan. Menurutnya, pemahaman hakikat Allah tidak akan dapat di capai dengan
akal pikiran, tetapi melalui kefanaan. Kefanaan ini merupakan pemberian dari
Tuhan.[1]
Kefanaan menurutnya adalah peniadaan diri dan segala
sesuatu, kecuali Allah yang kemudian hidup dalam dia (Allah) yang ia sebut
dengan baqa’. Suatu ketika Al-Junaid ditanya tentang tauhid bagi orang Khawa>s
(kelompok tertentu). Ia menjawab, “Hendaklah seseorang menjadi pribadi yang
berada di tangan Allah dan segala kehendak-Nya berlaku bagi dirinya. Hal ini
tidak bisa tercapai, kecuali dengan menjadikan dirinya fana’ terhadap dirinya
dan makhluk sekitarnya. Dengan sirnanya perasaan dan kesadarannya, seluruhnya
berlaku kehendak Allah SWT. Al-Junaid
mengatakan:
“Tauhid yang secara khusus dianut para sufi adalah pemisahan
antara yang Qadi>m dengan yang hudu>s\. Dengan pemikiran seperti ini, al-Junaid
di pandang sebagai orang yang mendasarkan tasawuf pada al-Qur’an dan al-Sunnah.”
Menurut fana oleh para kaum sufi dapat berarti lenyapnya
sifat-sifat kemanusiaan, akhlak yang tercela, dan kejahilan dari diri seorang
sufi kemudian kekalnya (baqa) sifat-sifat ketuhanan, Akhlak yang mulia, dan
pengetahuan dalam dirinya. Fana juga dapat berarti al-fana’ al-nafs, yakni
leburnya perasaan dan kesadaran tentang adanya tubuh kasar seorang sufi dan
wujud jasmani sudah di rasakan tidak ada lagi. Pada kondisi ini yang tinggal
hanyalah wujud rohani dan di dalam dirinya.[2]
Al-fana dalam pengertiannya yang umum dapat dilihat dari penjelasan
al-Junaid berikut ini. Hilangnya daya kesadaran qalbu dari hal-hal yang
bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian
akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus
secara silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh
indera.
Dari pengertian ini terlihat, bahwa yang lebur atau fana itu
adalah kemampuan dan kepekaan menangkap yang bersifat materi atau inderawi, sedangkan
materi (jasad) manusianya tetap utuh dan sama sekali tidak hancur. Jadi,yang
hilang hanyalah kesadaran akan dirinya
sebagai manusia sebagaimana di jelaskan oleh Al-Qusyairi:
Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya itu.
Sebenarnya dirinya tetap ada tetapi ia tidak sadar dengan dirinya sendiri dan
dengan alam sekitarnya.
Dalam proses al-fana ada empat situasi getaran psikis yang
alami seseorang, yaitu al-sakar, al-sathohat, al-zawal al-hijab, dan ghalab al-syuhud.
Sakar adalah situasi kejiwaan yang terpusat penuh kepada satu titik sehingga ia
melihat dengan perasaannya, seperti apa yang dialami oleh nabi Musa as di Turnisa.
Secara bahasa, sathohat berarti gerakan, sedangkan dalam istilah tasawuf
dipahami sebagai suatu ucapan yang terlontar diluar kesadaran, kata-kata yang
diucapan dalam keadaan sakar, al-zawal al-hijab, nampaknya diartikan dengan
bebas dari dimensi sehingga ia keluar dari alam materi dan telah ber”ada” di
alam ilahiya sehingga getar jiwanya dapat menangkap gelombang cahaya dan suara Tuhan.
Nampaknya pengertian ini sama dengan atau mirip dengan al-mukasyafah. Sedangkan
ghalab al-syuhud diartikan sebagai tingkat kesempurnaan musyahadah,pada tingkat
yang mana ia lupa pada dirinya dan alam sekitarnya. Yang diingat dan dirasa
hanya Allah seutuhnya. Dalam literatur barat ditemukan pengertian al-fana
sebagai”the passing away of the sufi from his phenomenal existence, involves
baqa, the continuance of his real existence.
Apabila dilihat dari sudut kajian psikologi, terlihat suatu
karakteristik fana mistis, yaitu hilangnya kesadaran dan perasaan, di mana
seseorang (sufi) tidak merasakan lagi apa yang terjadi dalam organismenya dan
tidak pula merasakan ka-aku-annya serta alam sekitarnya. Dengan demikian
terlihat, bahwa fana adalah kondisi intuitif, di mana seseorang untuk beberapa
saat kehilangan kesadarannya terhadap ego-nya, yang dalam bahasa awal
barangkali dapat dikatakan sebagai terkesima atau bahasa yang sejenis. Karena,
apabila diteliti apa yang dikatakan al-Qusyairi di atas bahwa fana itu adalah terkesimannya
seseorang dari segala rangsangan dan yang tinggal hanyalah satu kesadaran,
yaitu hanya Dzat Mutlak. Hanya satu daya yang mendominasi seluruh ekpresinya,
yaitu daya hakikat Tuhan, itulah yang disebut fana dari makhluk. Oleh karena
sifatnya yang demikian, maka fana itu sebernarnya adalah suatu keadaan
incidental, artinya tidak berlangsung secara terus-menerus. Perlu yang dicatat,
bahwa menurut penganut paham fana, kemampuan itu adalah karunia Allah sehingga
tak dapat diperoleh melalui latihan yang bagaimanapun.[3]
Pada perkembangan yang awal kelihatannya ada dua aliran
al-fana, satu aliran yang berpaham moderat yang diwakili al-Junaid al-Baghdadi,
biasanya disebut fana fi al-tauhid. Kalau seorang telah larut dalam
ma’rifatulloh dan ia tidak menyadari segala sesuatu selain Allah, maka ia telah
fana dalam tauhid. Aliran fana yang kedua dipelopori oleh Abu Yazid al-Busthami
yang mengartikan al-fana sebagai penyatuan
dirinya dengan Tuhan.
Di kalangan sufi Al-Junaid dikenal sebagai pemuka dan
pimpinan mereka dengan gelar Sayyid al-Tha’ifah al-Shu>fiyyah.
Abu Ali al-Raudzabari berkata: “Saya mendengar Al-Junaid
berkata kepada orang yang mengatakan bahwa ahli ma’rifat dapat sampai kepada
suatu keadaan yang tidak lagi baginya untuk berbuat apapun, Artinya menurutnya
orang tersebut boleh meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang telah diwajibkan,
Al-Junaid berkata kepadanya: “Ini adalah perkataan kaum yang berpendapat segala
perbuatan-perbuatan akan gugur. Dan ini bagiku adalah sesuatu yang sangat
berbahaya. Seorang pelaku zina dan seorang yang mencuri jauh lebih baik dari
pada orang memiliki pendapat seperti itu. Sesungguhnya, orang-orang yang ‘Arif
Billah adalah mereka yang mengerjakan seluruh pekerjaan sesuai perintah Allah,
karena hanya kepada-Nya pekerjaan-pekerjaan itu kembali. Andaikan aku hidup
dengan umur 1000 tahun, dan aku tidak meninggalkan kebaikan sedikitpun selama
umur tersebut, maka kebaikan itu tidak akan dianggap oleh Allah kecuali bila
sesuai dengan apa yang telah diperintahkannya. Inilah keyakinan yang terus
memperkuat ma’rifat-ku dan memperkokoh keadaanku”.
Sejak kecil, al-Junaid terkenal sebagai seorang anak yang
cerdas, sehingga sangat mudah dan cepat belajar ilmu-ilmu agama dari pamannya. Karena
kecerdasannya itu, ketika berumur tujuh tahun, Al-Junaid telah diuji oleh
gurunya dengan sebuah pertanyaan tentang makna syukur. Kehidupan Al-Junaid
al-Baghdadi, di samping sebagai seorang sufi yang senantiasa mengajarkan ilmunya
kepada murid-muridnya, ia juga sebagai pedagang barang-barang pecah belah di
pasar tradisional. Selesai berdagang, beliau pulang ke rumah dan mampu
mengerjakan shalat dalam waktu sehari semalam sebanyak empat ratus rakaat.[4]
Al-Junaid al-Baghdadi adalah seorang sufi yang mempunyai
prinsip tak kenal putus asa. Terbukti, misalnya dalam ibadah, baik di kala
sehat maupun sakit, ia senantiasa konsisten melaksanakannya; bahkan, dalam
keadaan sakit, ia merasa semakin dekat dengan Allah. Di samping itu, al-Junaid
memiliki sifat tegas dalam pendirian. Ini terlihat ketika ia menandatangani
surat kuasa untuk menghukum mati muridnya sendiri, Husain bin Mansur al-Hallaj
(w. 309/ 922 M), sufi pencetus al-hulul. Dalam surat kuasa itu, ia menulis
dengan tegas, “Berdasarkan syari’at, ia (al-Hallaj) bersalah, tetapi menurut
hakikat, Allah Yang Maha Mengetahui”. Dalam masa-masa hidupnya, Al-Junaid
menghadapi kendala dalam mengajarkan tasawufnya, terutama dari kaum ortodok.
Karena perlawanan mereka terhadap para sufi yang terjadi ketika itu, maka
Al-Junaid melakukan praktik-praktik spiritual dan mengajari murid-muridnya di
balik pintu terkunci. Dari surat-suratnya atau risalah-risalah singkatnya dan
keterangan dari para sufi serta penulis biografi sufi sesudahnya, dapat
dipandang bahwa jalan hidup Al-Junaid merupakan perjuangan yang permanen untuk
kembali ke “Sumber” segala sesuatu, yakni Tuhan.
Bagi al-Junaid, cinta spiritual (mahabbah) berarti bahwa,
“Sifat-sifat Yang Dicintai menggantikan sifat-sifat si pencinta”. Al-Junaid
memusatkan semua yang ada dalam pikirannya, semua kecenderungannya,
kekagumannya, dan semua harapan dan ketakutannya, hanya kepada Allah SWT .
Untuk itulah, dengan paham-paham ketasawufannya, ia sering dipandang sebagai
seorang syaikh sufi yang kharismatik di kota Bahgdad. Banyak tarekat sufi yang
silsilahnya melalui al-Junaid. Paham dan amalan tasawuf al-Junaid ini banyak
digali dari pengalaman-pengalaman ketasawufannya; namun demikian, konsep-konsep
pemikiran tasawufnya masih belum tersusun secara sistematis, tetapi lebih
banyak dijelaskan lewat ungkapan-ungkapan verbalnya.
Dari ungkapan-ungkapan itulah bisa dipahami konsep
tasawufnya. Misalnya, ketika ia menjelaskan tentang tasawuf yang dijalaninya,
ternyata ia peroleh dari pengalaman kezuhudan dan kesederhanaannya terhadap
dunia. Dalam hal ini, Sai’id Hawwa pernah mengutip pernyataan al-Junaid, yang
mengungkapkan, “Kami tidak mengambil tasawuf dari pembicaraan atau kata-kata,
melainkan dari lapar dan keterlepasan dari dunia ini, dan dengan meninggalkan
hal-hal yang sudah biasa dan kami senangi”. Sikap hidup fakir dan keterlepasan
dari kemewahan dunia menjadi penting dalam kehidupan sufistik menurut pandangan
al-Junaid.
Al-Junaid memandang tasawuf sebagai jalan kearifan manusia
dalam menjalankan hidupnya. Dalam hal ini ia pernah ditanya tentang orang yang
disebut arif (sufi) sebagai berikut, “Siapakah orang arif (sufi) itu?” Ia
menjawab, orang arif adalah orang yang tidak terikat oleh waktu.” Kehidupan
tasawuf yang dilakukan seseorang merupakan jalan penyucian hati dan jalan
kekhusukan untuk mengingat Dia. Perkataan Al-Junaid yang berhubungan dengan hal
ini adalah: “Tuhan menyucikan “hati” seseorang menurut kadar khusuknya dalam
mengingat dia. Al-Junaid mengatakan:”Sabar itu meneguk kepahitan tanpa cemberut
muka.” Selain itu, al-Junaid al-Baghdadi juga mempunyai pemikiran tentang bast
(rasa lapang) dan qabd (rasa kecut). Bast yang dimaksud adalah istilah tasawuf
yang berarti suasana kelapangan jiwa melalui harapan atau kegembiraan rohani
akan datangnya rahmat Allah. Di kalangan para sufi, bast dan qabd merupakan
kelanjutan dari raja’ (harap) dan khauf (takut), yang keduanya merupakan cara
untuk meminta perlindungan dari Tuhan. Untuk melihat bagaimana bast dan qabd
sebagai kelanjutan dari raja’ dan khauf ini, dapat disimak ungkapan yang
dikemukakan Al-Junaid sebagai berikut: “Takut (khauf) kepada Allah membuatku
menjadi qabd, dan harap (raja’) kepada-Nya membuatku manjadi bast. Dengan
al-haqiqah (hakikat) Dia mempersatukanku dengan eksistensi kemanusiaanku. Jika
Dia membuatku qabd dan khauf, Dia menghancurkan eksistensi kemanusiaanku. Apabila
Dia membuatku bast dan raja’, Dia mengembalikan eksistensi kemanusiaanku. Jika
Dia mengumpulkanku dengan al-haqiqah, Dia menghadirkanku. Jika Dia memisahkanku
dengan al-haqq (Tuhan), Dia menyaksikanku dalam eksistensi yang lain. Maka
ketika itu aku dalam keadaan gelap gulita, dan menjadi tidak sadarkan diri. Ketika
itu Dialah yang Yang Maha Tinggi yang menggerakkanku tanpa mendiamkanku dan Dia
yang membuatku takut dan cemas tanpa membuatku merasakan adanya belaian kasih. Ketika
eksistensi kemanusiaanku hadir, aku merasakan keberadaanku. Dan ketika
eksistensi kemanusiaanku lepas, aku merasa hancur tidak sadarkan diri.”
Al-Junaid al-Baghdâdî yang terkenal dengan julukan sayyid at-ta’ifah (sesepuh
kaum sufi), menjelaskan bahwa cinta murni itu tercapai setelah adanya proses
transformasi sifat-sifat yang dicintai pada diri pencinta secara total .
Dari kutipan-kutipan di atas, maka jelas sekali tasawuf al-Junaid
berlandaskan al-Quran dan hadis\. Ia menjauhi praktek yang bertentangan dengan
syariat Islam. Adapun dasar-dasar pemikiran al-Junaid tentang tasawuf yang
dapat penulis analisis adalah sebagai berikut:
1)
Seorang sufi harus meninggalkan
kelakuan dan sifat-sifat yang buruk dan menjalankan budi pekerti yang baik,
sesuai dengan ajaran-ajaran tasawuf yang selalu mengajarkan sifat-sifat baik
dan meninggalkan budi pekerti yang jelek.
2)
Ajaran tasawuf adalah
ajaran-ajaran yang dapat memurnikan hati manusia dan mengajarkan sifat-sifat
baik dan meninggalkan sifat-sifat alamiah yang bisa merusak kesucian jiwa,
menahan manusia dari godaan jasmani, mangambil sifat-sifat ruhani, mengingatkan
diri pada ilmu hakikat, mengingat Allah swt dan rasul-Nya, Muhammad saw.
3)
Memalingkan perhatian dari urusan
duniawi kepada urusan ukhrawi. Bagi orang beriman, meninggalkan pergaulan
dengan sesama (manusia) masih mudah dan berpaling kepada Allah sulit. Ternyata
berpaling dari nafsu lebih sulit lagi. Untuk itu, melawan nafsu adalah sangat
penting untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hal ini, al-Hujwiri mengutip
bahwa al-Junaid pernah ditanya, “apakah persatuan dengan Tuhan?” dia menjawab,
“meniadakan hawa nafsu,” karena di antara semua tindakan ibadah yang diridhai
Tuhan, tiada yang lebih besar nilainya dari pada menundukkan hawa nafsu.
Menghancurkan gunung lebih mudah bagi seorang manusia dari pada menundukkan
hawa nafsunya.”
4)
Manusia harus berpegang teguh
kepada tauhid, termasuk dalam bertasawuf. Arti tauhid, menurut al-Junaid,
adalah mengesakan Allah swt. dengan sesempurna-Nya. Bahwa sesungguhnya Allah
itu Esa, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, tidak berjumlah dan tidak
pula tersusun, dan tak satupun yang menyerupai-Nya, Dia Maha Mendengar, Dia
Maha Melihat dan Maha Tunggal, dan seterusnya.
5)
Orang sufi harus bisa melakukan
tiga syarat amalan, yaitu: (a) melazimkan dzikr secara kontinu yang disertai
himmah dan dengan kesadaran yang penuh; (b) mempertahankan tingkat kegairahan
atau semangat yang tinggi; (c) senantiasa melaksanakan syari’at yang ketat dan
tepat dalam kehidupan sehari-hari. Sebab itu, dalam soal berpegang teguh pada
syari’at, maka al-Junaid seperti dikutip Sa’id Hawwa, pernah menuduh orang yang
menjadikan wusul (mencapai) Allah sebagai tindakan untuk melepaskan diri dari
hukum-hukum syari’ah. Dalam persoalan ini dengan tegas ia menyatakan, “Betul
mereka sampai, tetapi ke neraka Saqar.” Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab
fiqih pernah berkata, “Barang siapa mendalami fiqih tanpa bertasawuf ia fasik,
barang siapa yang mendalami tasawuf tanpa mendalami fiqih ia zindiq, dan barang
siapa yang melakukan keduanya ia ber-tahaqquq (meraih kebenaran).”
Jadi, tasawuf merupakan hal yang mesti, dapat dijadikan
sebagai penyempurna fiqih. Begitu juga fiqih, dapat menjadi koridor tasawuf dan
kaidah pengendali amal dalam mengarah kepada-Nya. Jika salah satu dari dua
disiplin ilmu tersebut hilang, itu berarti separuh telah tiada. [5]
B.
Ajaran dan
Pemikirannya Al-junaid
1.
Tentang Tasawuf
Menurut Junaid al-Baghdadi, tasawuf adalah menjaga waktu
(dapat menggunakan waktu secara benar), juga seseorang tidak berbuat di luar
kemampuannya, tidak menyetujui sesuatu kecuali dari Allah, tidak menyertakan
perbuatan-perbuatan lain selain waktunya. Lalu seseorang bertanya kepada Junaid,
“Apakah tasawuf itu ?” Junaid lalu berkata: ”Tasawuf ialah bersatunya hati
seseorang dengan yang Maha Benar (Allah), dan hal ini tidak bisa dicapai
kecuali dengan menghilangkan keinginan-keinginan hawa nafsu demi untuk
menguatkan jiwa dan berada bersama dengan yang Maha Benar (Allah).”Adapun
kaedah tasawuf menurut Junaid al-Baghdadi adalah ; “Memurnikan atau
membersihkan hati atau jiwa dari pengaruh keduniaan, menjauhkan diri dari
sifat-sifat yang tercela, mengendalikan sifat-sifat kemanusiaan (biologis), menghindar
dari godaan hawa nafsu, menghias diri dengan hal-hal yang bersifat ruhaniyah
dengan melalui ilmu-ilmu hakekat, lebih cenderung pada sesuatu yang bersifat
kekal atau abadi, selalu memberikan nasehat kepada manusia tentang kebenaran
dan mengikuti Rasulullah dalam syari’at.”
2.
Tauhid
Pandangan Junaid al-Baghdadi secara umum mengenai tauhid
adalah
orang-orang yang Meng-Esa-kan Allah (muwahhid) ialah mereka yang merealisasikan ke-Esa-anNya dalam arti yang sempurna, menyakini bahwa Ia adalah Maha Esa. Ia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Menafikan segala bentuk yang mensyarikatkan-Nya, Ia tidak diserupakan, tidak bisa diuraikan, tidak bisa digambarkan dan tidak bisa ditamsilkan. Tuhan itu Maha Esa tanpa padanan dengan sesuatupun, dan Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.[6]
orang-orang yang Meng-Esa-kan Allah (muwahhid) ialah mereka yang merealisasikan ke-Esa-anNya dalam arti yang sempurna, menyakini bahwa Ia adalah Maha Esa. Ia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Menafikan segala bentuk yang mensyarikatkan-Nya, Ia tidak diserupakan, tidak bisa diuraikan, tidak bisa digambarkan dan tidak bisa ditamsilkan. Tuhan itu Maha Esa tanpa padanan dengan sesuatupun, dan Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.[6]
Sedangkan tauhid dalam perspektif sufistik, Junaid
al-Baghdadi menyatakan bahwa: “Tauhid adalah hal yang berhubungan dengan
penyucian Allah dari sifat-sifat yang baharu. Bahkan ia juga menafikan dari
hal-hal yang dapat meleburnya sesuatu yang lain kepada Allah. Maka tauhid
menurut Junaid al-Baghdadi adalah kita mengetahui dan meng-ikrarkan bahwa Allah
itu sejak zaman azali sendiri, tidak ada dua beserta-Nya, dan tidak ada sesuatu
perbuatan yang sama dengan perbuatan-Nya, dan tidak ada yang menyerupai-Nya.
Tauhid adalah jalan untuk mengenal Allah (ma’rifatullah). Hal ini didasari oleh
keyakinan dan pembenaran iman, bukan dengan keraguan. Pandangan ini menunjukkan
penolakan Junaid terhadap konsep al-ittihad atau al-hulul dan juga wahdat al-wujud.
Ibarat yang demikian menunjukkan bahwa ia adalah seorang sufi muslim dan mukmin
yang dikenal dengan paham wahdat asy-syuhud. Ajaran wahdat asy-syuhud Junaid
al-Baghdadi sebagaimana dikemukakan Muhammad Jalal Syarif adalah ”persatuan
dalam kesaksian, yaitu adanya pembatas bagi setiap sufi ketika berakhir atau
tercapainya cita-citanya menuju jalan Allah. Suatu keadaan di mana perasaan
seorang hamba menyaksikan kehadiran Allah dalam segala sesuatu, sedangkan wujud
Allah adalah milik Allah.Tauhid yang hakiki menurut Junaid al-Baghdadi adalah
buah dari fana’ terhadap semua selain Allah. Ia menyatakan bahwa tauhid secara
khusus dalam terminologi sufistik adalah adalah pemisahan yang qadim dari yang
hudus, keluar dari alam dirinya dan memutuskan cintanya kepada hal-hal yang
duniawi, dan meninggalkan apa yang diketahui dan tidak diketahui dengan
menjadikan Tuhan sebagai tempat bagi semuanya. Jadi hakekat tauhid itu adalah
betul-betul mengesakan-Nya, Dia adalah Dia. Ini adalah kesadaran tertinggi bagi
seorang muwahhid dalam mengesakan-Nya.
Pengertian tauhid menurut Junaid Al-Baghdadi mengandung
unsur utama “pemisahan yang baqa’ dan yang fana’. Atau dengan kata lain
pemisahan yang qidam dan hudus. Ketika menjelaskan sebuah hadis : “Manakala Aku
mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya, hingga melalui Aku ia
mendengar,” Junaid al-Baghdadi berkata: ”Kalau demikian, maka Allah-lah yang
memampukannya. Dialah menjadikannya mampu mencapai hal ini. Dialah yang
menuntunnya dan mengkaruniakan padanya hakekat dan kebenaran. Dengan demikian,
ia adalah perbuatan Allah lewat dirinya.
Pengertian tauhid secara khawas atau sufistik menurut Junaid
al-Baghdadi dapat dicapai manakala sang sufi membuat dirinya fana’ terhadap
dirinya dan makhluk sekitarnya, dengan sirnanya perasaan dan gerakannya, akibat
apa yang dia kehendaki dikendalikan yang Maha Benar. Dalam hal ini Junaid
al-Baghdadi menyatakan bahwa tasawuf berarti bahwa “Allah akan menyebabkan
engkau mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya. ”Peniadaan diri ini oleh
Junaid disebut fana’. Dengan kefanaan dalam tauhid, seorang sufi bisa
merealisasikan keinginan untuk keluar dari ruang sempit menuju kefanaan abad
luas. Fana’ dalam tauhid adalah jalan ilmu dan ma’rifah, keadaan dan
kesempurnaan, yang kepadanya tidak datang kebathilan baik dari depannya maupun
dari belakangnya, dan tidak ada penyimpangan baik pada permulaannya maupun
pengujungnya. Konsep kefanaan dalam tauhid ini pertama kali dikemukakan oleh
Junaid al-Baghdadi, dan didukung oleh para sufi Sunni sesudahnya.
3.
Ma’rifat
Para kaum sufi berbeda pendapat tentang ma’rifat itu
sendiri. Masing-masing mereka mengemukakan pendapatnya. Mengenai pengertian
ma’rifat ini, Junaid al-Baghdadi berkata:
“Ma’rifat adalah adanya kebodohan pada dirimu dikala berkembangnya ilmu kamu.”
Lalu ada seseorang meminta kepadanya, “Ceritakanlah kepada kami dengan lebih
banyak lagi. ”Suatu ketika Dia sebagai subyek (Yang Mengetahui), dan di ketika
yang lain Dia sebagai obyek (yang diketahui),” kata Junaid. Artinya,
sesungguhnya kamu tidak mengetahui-Nya karena dirimu, tetapi sesungguhnya kamu
mengetahui-Nya karena Dia. Abu Bakr Muhammad Al-Kalabazi menyatakan bahwa
Junaid al-Baghdadi pernah berkata ;
Ma’rifat itu ada dua macam, yaitu ma’rifat ta’arruf dan
ma’rifat ta’rif. Ma’rifat ta’arruf adalah bahwa Allah memberitahukan kepada
orang banyak akan diri-Nya dan memberi tahu orang banyak akan hal-hal yang
menyerupai-Nya seperti perkataan Nabi Ibrahim as., “Saya tidak menyukai barang
sesuatu yang terbenam.” Adapun arti ma’rifat ta’rif adalah Allah memberi tahu
orang banyak akan bekas-bekas kekuasaan-Nya dalam cakrawala dan dalam diri
manusia. Kemudian secara halus terjadilah kejadian benda-benda yang menunjukkan
kepada orang bahwa mereka itu ada yang menciptakan, yaitu Allah.Semua orang
tidak mendapat ma’rifat terhadap hakikat Allah kecuali karena-Nya sendiri.
Dalam pandangan Junaid al-Baghdadi, seorang sufi tidak akan mencapai ma’rifat
kecuali melalui maqamat dan al-ahwal. Sebagaimana ia menyatakan, tidak akan
sampai seseorang hamba kepada hakikat ma’rifat dan kemurnian tauhid, sehingga
ia melalui ahwal dan maqamat.
4.
Syathahat Sufi
Junaid al-Baghdadi sebagai imam kaum sufi, ketika ditanya
tentang syathahat sufi, ia menjelaskan : “Syathahat itu adalah keadaan seorang
sufi dalam kondisi yang tidak sadarkan diri. Dan cenderung lebih banyak diam,
tetap pada posisinya daripada berbicara dan bergerak.” Dalam hal ini, seorang
sufi sedang mengalami suatu tingkatan yang membatasi dirinya dengan
penciptanya. Dan kepribadiannya lebur ke dalam zat Ilahi, kemudian naik ke alam
cahaya, di mana di hadapannya hal-hal yang ghaib terungkap.
Dari konsep di atas, jelas sekali perbedaan antara Junaid
al-Baghdadi dengan para sufi pantheis (penganut paham wahdat al-wujud). Ia
secara tegas menetapkan pemisahan antara Allah dengan makhluk. Sementara para
sufi penganut pantheis menyatakan tidak adanya perpisahan antara keduanya, dan
wujud adalah satu dan tidak berbilang sama sekali. Sebagai tokoh sufi, Junaid
al-Baghdadi memahami syathahat yang dialami sufi sebagaimana pengalaman Abu
Yazid al-Bustami. Junaid al-Baghdadi menandaskan bahwa dalam keadaan trance,
sorang sufi tidak mengucapkan tentang dirinya sendiri, tentang apa yang
disaksikannya pada saat mengalami keadaan trance, yaitu Allah Swt.
Suatu ketika diriwayatkan kepada Junaid al-Baghdadi, bahwa
Abu Yazid al-Bustami mengatakan, “Maha Suci Aku ! Maha Suci Aku !Aku inilah
Tuhanku yang Maha Luhur.”Maka Junaid al-Baghdadi berkata, “Dia begitu terpesona
oleh penyaksian terhadap Allah sehingga dia mengucapkan apa yang membuatnya
terpesona. Penglihatan terhadap yang Maha Benar membuatnya terbuai, di mana
tidak ada yang dia saksikan kecuali yang Maha Benar, sehingga ia meratapi-Nya.
Abu Yazid al-Bustami, sekalipun agung kondisinya dan tinggi isyaratnya,
tidaklah keluar dari kondisi permulaannya, dan darinya belum pernah aku
mendengar sepatah kata yang menunjukkan kesempurnaan pada kesempurnaan dan
akhir. Pendapat Junaid al-Baghdadi ini mempunyai makna bahwa Abu Yazid
al-Bustami dan juga al-Hallaj, adalah kelompok sufi yang tidak bisa
mengendalikan diri, serta orang yang tunduk pada intuisi. Dengan sendirinya hal
itu membuat mereka tetap dalam keadaan permulaan, dan tidak bisa menjadi
panutan bagi sufi lainnya. [7]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Abu al-Qasim Junaid al-Baghdadi adalah salah seorang tokoh
penting dalam sejarah tasawuf.Ia termasuk tokoh sufi yang memadukan syari’at
dengan hakekat, dan kelompok sufi yang tidak suka mengeluarkan syathahat, atau
ungkapan-ungkapan ganjil. Dia lebih mendahulukan kesadaran daripada ketidaksadaran,
keterpisahan ketimbang keterpaduan. Sementara di lain pihak, ada kelompok sufi
yang menganut doktrin ketidaksadaran, keterpaduan (wahdat al-wujud) dalam
pengalaman cinta mereka kepada Allah, sehingga mereka suka mengungkapkan
ucapan-ucapan ganjil, yang dikenal dengan syathahat.
Dalam kalangan sufi sebagaimana dikemukakan Junaid, bahwa para sufi yang dalam kondisi trance, tidak bisa dijadikan panutan. Yang lebih sempurna adalah seorang sufi yang telah mapan, dan bukannya seorang sufi yang masih dalam keadaan trance. Sebab trance adalah awal, sementara kemapanan adalah akhir.
Dalam kalangan sufi sebagaimana dikemukakan Junaid, bahwa para sufi yang dalam kondisi trance, tidak bisa dijadikan panutan. Yang lebih sempurna adalah seorang sufi yang telah mapan, dan bukannya seorang sufi yang masih dalam keadaan trance. Sebab trance adalah awal, sementara kemapanan adalah akhir.
Al-Junaid terkenal dengan konsep tauhidnya yang di dasarkan
kefanaan. Menurutnya, pemahaman hakikat Allah tidak akan dapat di capai dengan
akal pikiran, tetapi melalui kefanaan. Kefanaan ini merupakan pemberian dari
Tuhan.
Namun fana mempunyai interpretasi yang multimakna. Orang
yang merenungkan apa yang telah disebutkan oleh para sufi tentang fana akan
menemukan arti lebih dari satu. Sehingga fana kadang menunjukkan sebuah arti etika
saat mereka mendefinisikannya sebagai sifat sebuah jiwa (nafs) atau hilangnya
sifat-sifat tercela.Mereka juga beranggapan bahwa fana adalah sirnanya kehendak
manusia, dan keberadaannya dalam kehendak Tuhan. Kondisi ini dapat mengacu
dalam ayat al-Qur’an yang menyatakan “Maka tatkala wanita-wanita itu
melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupanya), dan mereka melukai (jari
tangannya)”.(QS. Yusuf: 31). Fana berarti hilang atau hancur.Setelah diri
hancur, diikuti oleh al-baqa, yang berarti tetap, terus hidup.al-fana dalam
pengertian umum dapat dilihat dari penjelasan Al-Junaid: “hilangnya daya
kesadaran kalbu dari hal-hal yang bersifat indrawi karena
adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena
hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus silih berganti hingga
tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indra”. Konsep fana inilah yang
mendasari serta mendominasi pemikiran tasawuf pada abad ke 3 dan ke 4 H,
termasuk pemikiran tasawuf Al-Junaid.
2.
Kritik dan saran
Dalam perincian
makalah kami ini, sebagai manusia tentunya menyadari masih banyak terdapat
kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun kami
butuhkan untuk pembaharuan dalam penyusunan makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Taufiq. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2002).
Al-Kalabazi, Abu Bakar. Ajaran-Ajaran
Sufi, (Bandung: Pustaka Salman, 1985).
Al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah,
(Kairo: t.p, 1966).
Al-Taftazani,
Abu Wafa’ al-Ghanimi. Tasawuf Islam: Telaah Historis dan Perkembangannya.
Terj. Subhkan Anshori (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008).
Bachrun, Rifa’i. “Filsafat tasawuf” (Cet.1;
Bandung: PUSTAKA SETIA, 2010).
Rivay,
Siregar. “TASAWUF: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme” (Cet II; Fajar
Inter Pratama Offset, 2002).
Slamet,
Riyadi. “Sufisme Klasik: Menelusuri Tradisi Teks Sufi" (Cet I;
Bandung: Mimbar Pustaka, 2003).
[1]Rifa’i Bachrun, “Filsafat
tasawuf” (Cet. I; Bandung: PUSTAKA SETIA, 2010), hal. 35.
[2]Al-Qusyairi, al-Risalah al-Qusyairiyah,
(Kairo: t.p, 1966), hal. 33.
[3]Siregar Rivay, “TASAWUF: Dari
Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme” (Cet II; Fajar Inter Pratama Offset, 2002),
hal. 97.
[4]Taufiq
Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2002), hal. 86.
[5]Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf
Islam: Telaah Historis dan Perkembangannya. Terj. Subhkan Anshori (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2008), hal. 54.
[6]Riyadi Slamet, “Sufisme
Klasik: Menelusuri Tradisi Teks Sufi" (Cet I; Bandung: Mimbar Pustaka,
2003), hal. 24.
[7]Abu
Bakar Al-Kalabazi, Ajaran-Ajaran Sufi, (Bandung: Pustaka Salman, 1985),
hal. 43.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar