KAWIN SIRRI
ANTARA FIQHI
& REALITA*
Oleh : H. Abd. Wahab Zakariya
"Hai sekalian manusia bertakwalah kepada
Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah
menciptakan pasangannya dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu".
(QS. An-Nisa' [4] : 1).
"Maka kawinilah wanita yang kamu senangi; dua,
tiga, atau empat. Lalu jika kamu khawatir tidak berlaku adil maka kawinilah
satu saja". (QS. An-Nisa' [4] : 3).
"Nikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak
suka pada sunnahku, maka ia bukan golonganku". (HR. al-Bukhari dan
Muslim).
"Kawinilah perempuan yang pengasih dan banyak
anak, karena saya membanggakan banyaknya jumlahmu di depan ummat-ummat yang
lain". (HR. Abu Daud dan an-Nasa'i).
"Dunia
adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangan dunia adalah wanita
shalehah". (HR. Muslim).
II. Pengertian Nikah Sirri
Imam aj-Jurjani mengatakan, "Nikah sirri adalah
nikah yang tidak diumumkan (dipopulerkan)". (at-Ta'rifat; 1/315).
Imam as-Siwasi berkata, "Nikah sirri adalah
nikah yang tidak dihadiri oleh saksi-saksi". (Syarh Fathul Qadir; 3/200).
Imam as-Syarbaniy berkata, "Nikah sirri adalah
nikah yang disaksikan oleh orang-orang adil namun diminta untuk
merahasiakannya". (al-Hujjah; 3/222).
Dan
dapat juga dikatakan bahwa nikah sirri adalah nikah yang dirahasiakan yang tidak tercatat/terdaftar pada Pencatatan
Nikah/Kantor Urusan Agama, apakah memenuhi syarat dan rukun nikah secara
syar'iy atau tidak, yang penting tidak tercatat/terdaftar.
Macam-macam nikah sirri:
1.
Pelaksanaan aqad
nikah antara seorang laki-laki dan perempuan dihadiri wali dan dua saksi adil,
yang seperti ini menurut sebahagian ulama adalah nikah sirri.
2.
Pelaksanaan aqad
nikah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa wali dan dihadiri
dua saksi, kemudian mereka sepakat merahasiakannya.
3.
Pelaksanaan awad
nikah antara seorang pria dan seorang wanita dengan dihadiri oleh wali dan dua
saksi, kemudian mereka sepakat untuk merahasiakannya.
4. Pelaksanaan
aqad nikah antara seorang pria dan wanita dihadiri oleh wali dan dua saksi,
kemudian suami, isteri, dan wali sepakat untuk merahasiakannya.
III. Pendapat Fuqaha tentang Nikah Sirri.
Ulama fiqhi sependapat bahwa nikah sirri yang
dilangsungkan tanpa wali dan tanpa dua saksi adalah batal/tidak sah dan tidak
dapat diterima oleh syari'at dan haram mu'asyarah antara keduanya. Ini
adalah zina.
Mereka sepakat pula bahwa nikah yang dilaksanakan
dengan dihadiri oleh wali, dua orang saksi yang adil dan diumumkan adalah sah.
Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai nikah
sirri yang diselenggarakan dengan dihadiri wali dan dua orang saksi, tetapi
tidak diumumkan/dirahasiakan.
Menurut Imam Malik, Ibnu Arafah, Ulama Madinah, dan
ada satu riwayat dalam mazhab Ahmad bin Hanbal, nikah sirri tersebut adalah
batal/tidak sah dan wajib diceraikan. Malahan Ibnu Syihab berpendapat bahwa
yang bersangkutan dan kedua saksinya dikenakan hukuman oleh pemerintah.
Al-Dhahhak bin Usman meriwayatkan bahwa Abu bakar ash-Shiddiq ra. Pernah
berkata, "Nikah sirri tidak boleh/tidak sah sampai diumumkan dan
dipersaksikan". (az-Ziwaj Mu'ashir; 160).
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam as-syafi'iy bahwa
nikah sirri boleh dan sah, tetapi makruh/tercela. (al-Um; 5/22).
Menurut Syekh Mutawalli as-Sya'rawiy bahwa apabila
perkawinan dirahasiakan berarti menggugurkan salah satu syarat nikah, yaitu
pengumuman nikah. (Anta Tas'al, al-Islamu yujib; 421).
Perbedaan pendapat fuqaha ini terjadi adalah
disebabkan perbedaan dalam memahami perintah Rasulullah SAW mengenai pengumuman
nikah, apakah itu wajib atau anjuran. (Shahih Fiqhssunnah; 3/152).
Sekalipun ulama berbeda pendapat mengenai sah dan
tidaknya nikah sirri (ada wali dan dua orang saksi), tetapi mereka semuanya
sepakat bahwa nikah sirri adalah tercela/makruh. Saya tambahkan bahwa hal itu
tidak pantas dilakukan oleh orang-orang terhormat, karena khilaful aula dan
bertentangan dengan as-sunnah.
Sekarang, bagaimana sikap kita menghadapi perbedaan
pendapat fuqaha? Dalam hukum Islam ada ketentuan bahwa keluar dari perbedaan
pendapat hukumnya wajib. Dalam hal ini, Allah SWT memberikan isyarat; "Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya (al-Qur'an dan as-Sunnah), jika kamu
benar-benar beriman kapada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (QS. An-Nisa' [4] : 59).
"Dan apabila datang kepada mereka suatu berita
tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya, akan dapat mengetahuinya dari mereka (Rasul dan
Ulil Amri). Apabila bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu,
tentulah kamu mengikuti syaitan, kecuali sebahagian kecil saja di antara
kamu". (QS. An-Nisa' [4] : 83).
Dari
kedua ayat di atas dipahami bahwa Allah SWT melimpahkan wewenang kepada Ulil
Amri untuk menyelesaikan perbedaan pendapat, supaya tidak terjadi kekacauan
dalam masyarakat. Maka lahirlah suatu ketentuan; "Pemerintah menghapuskan
perbedaan pendapat".
IV. Nikah Sirri dalam Praktek Realita
Kenyataan di lapangan,
kadang-kadang suami/isteri tidak mampu membuktikan hubungan perkawinannya
sekalipun mereka sudah berusaha, karena disebabkan wafatnya walinya dan atau
saksinya, malahan kadang-kadang suami atau istri, sehingga tidak mendapatkan
hak-hak yang diakibatkan oleh perkawinan itu.
Mengingkari perkawinan
berarti secara otomatis mengingkari sahnya anak syar'iy, sehingga korban
kerugian tidak dapat dihindari. Dan yang paling banyak merasakan itu adalah
isteri, apalagi kalau sempat punya keturunan yang diingkari oleh ayahnya.
Betapa banyak kasus akibat nikah sirri yang tidak dapat diselesaikan di
pengadilan agama.
V. Pentingnya Pencatatan Nikah dalam Syari'at Islam
Para ulama kontemporer memandang
perlunya pencatatan nikah dan diatur dengan perundang-undangan pada setiap
Negara Islam dewasa ini. Pencatatan nikah dewasa ini tidak kurang pentingnya
dibandingkan dengan kesaksian. Kalau kesaksian disyaratkan bagi sahnya nikah,
demi melindungi hak-hak dan menjaga harga diri akibat perkawinan, sedang
penyaksian pada perkawinan hanya merupakan wasilah bukan tujuan (gayah)
maka apabila wasilah tersebut tidak efektif lagi untuk mencapai tujuan yaitu
melindungi hak-hak, maka pada gilirannya syari'at Islam tidak melarang untuk
memperkuat/mendukung wasilah itu dengan wasilah yang lain,
seperti pencatatan nikah. Malahan hal itu diperintahkan. Kalau nikah tidak sah
tanpa saksi dan/atau pengumuman maka nikah yang tidak dicatat dewasa ini adalah
tidak sah (pasal 2 (2) UU No. 1 Th. 1974 tentang perkawinan) dan bagi
pelanggarnya dikenakan sanksi karena melanggar peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
VI. Penutup
1. Kesimpulan
Nikah adalah sebuah
bentuk ibadah yang bukan hanya terkait antara hamba dengan Tuhannya namun juga
erat kaitannya dengan sesama manusia. Karena itulah, nikah sirri yang dipahami
sebagai nikah yang tidak terdaftar/tercatat di pencatatan nikah, sekalipun ada
wali dan dua saksi, tetap tidak sah. Karena akan memberikan dampak negative
dalam beberapa aspek termasuk bagi istri dan keturunannya.
2. Saran
Dengan pemahaman yang
baik akan substansi dan urgensi pencatatan nikah, semoga dapat memacu dan
memotivasi kita untuk lebih mengedepankan kebaikan dan kemashlahatn bersama.
Sekian & terima kasih.
*Disampaikan dalam Diskusi Ilmiah
tentang Nikah Sirri yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Majelis Ulama
Indonesia; Wadah Musyawarah Ulama, Zuama', dan Cendekiawan Islam Kota Makassar
pada hari/tanggal: Sabtu, 20 Maret 2010 di Gedung Islamic Center (IMMIM)
Makassar.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar