Jumat, 19 Oktober 2012

Kawin Sirri Antara Fiqhi & Realita

KAWIN SIRRI
ANTARA FIQHI & REALITA*
Oleh : H. Abd. Wahab Zakariya
I.         Pendahuluan
"Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan pasangannya dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu". (QS. An-Nisa' [4] : 1).

"Maka kawinilah wanita yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Lalu jika kamu khawatir tidak berlaku adil maka kawinilah satu saja". (QS. An-Nisa' [4] : 3).
"Nikah adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak suka pada sunnahku, maka ia bukan golonganku". (HR. al-Bukhari dan Muslim).
"Kawinilah perempuan yang pengasih dan banyak anak, karena saya membanggakan banyaknya jumlahmu di depan ummat-ummat yang lain". (HR. Abu Daud dan an-Nasa'i).
"Dunia adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangan dunia adalah wanita shalehah". (HR. Muslim).
II.      Pengertian Nikah Sirri
Imam aj-Jurjani mengatakan, "Nikah sirri adalah nikah yang tidak diumumkan (dipopulerkan)". (at-Ta'rifat; 1/315).
Imam as-Siwasi berkata, "Nikah sirri adalah nikah yang tidak dihadiri oleh saksi-saksi". (Syarh Fathul Qadir; 3/200).
Imam as-Syarbaniy berkata, "Nikah sirri adalah nikah yang disaksikan oleh orang-orang adil namun diminta untuk merahasiakannya". (al-Hujjah; 3/222).
Dan dapat juga dikatakan bahwa nikah sirri adalah nikah yang dirahasiakan yang  tidak tercatat/terdaftar pada Pencatatan Nikah/Kantor Urusan Agama, apakah memenuhi syarat dan rukun nikah secara syar'iy atau tidak, yang penting tidak tercatat/terdaftar.
Macam-macam nikah sirri:
1.      Pelaksanaan aqad nikah antara seorang laki-laki dan perempuan dihadiri wali dan dua saksi adil, yang seperti ini menurut sebahagian ulama adalah nikah sirri.
2.      Pelaksanaan aqad nikah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan tanpa wali dan dihadiri dua saksi, kemudian mereka sepakat merahasiakannya.
3.      Pelaksanaan awad nikah antara seorang pria dan seorang wanita dengan dihadiri oleh wali dan dua saksi, kemudian mereka sepakat untuk merahasiakannya.
4.      Pelaksanaan aqad nikah antara seorang pria dan wanita dihadiri oleh wali dan dua saksi, kemudian suami, isteri, dan wali sepakat untuk merahasiakannya.
III.  Pendapat Fuqaha tentang Nikah Sirri.
Ulama fiqhi sependapat bahwa nikah sirri yang dilangsungkan tanpa wali dan tanpa dua saksi adalah batal/tidak sah dan tidak dapat diterima oleh syari'at dan haram mu'asyarah antara keduanya. Ini adalah zina.
Mereka sepakat pula bahwa nikah yang dilaksanakan dengan dihadiri oleh wali, dua orang saksi yang adil dan diumumkan adalah sah.
Kemudian mereka berbeda pendapat mengenai nikah sirri yang diselenggarakan dengan dihadiri wali dan dua orang saksi, tetapi tidak diumumkan/dirahasiakan.
Menurut Imam Malik, Ibnu Arafah, Ulama Madinah, dan ada satu riwayat dalam mazhab Ahmad bin Hanbal, nikah sirri tersebut adalah batal/tidak sah dan wajib diceraikan. Malahan Ibnu Syihab berpendapat bahwa yang bersangkutan dan kedua saksinya dikenakan hukuman oleh pemerintah. Al-Dhahhak bin Usman meriwayatkan bahwa Abu bakar ash-Shiddiq ra. Pernah berkata, "Nikah sirri tidak boleh/tidak sah sampai diumumkan dan dipersaksikan". (az-Ziwaj Mu'ashir; 160).
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam as-syafi'iy bahwa nikah sirri boleh dan sah, tetapi makruh/tercela. (al-Um; 5/22).
Menurut Syekh Mutawalli as-Sya'rawiy bahwa apabila perkawinan dirahasiakan berarti menggugurkan salah satu syarat nikah, yaitu pengumuman nikah. (Anta Tas'al, al-Islamu yujib; 421).
Perbedaan pendapat fuqaha ini terjadi adalah disebabkan perbedaan dalam memahami perintah Rasulullah SAW mengenai pengumuman nikah, apakah itu wajib atau anjuran. (Shahih Fiqhssunnah; 3/152).
Sekalipun ulama berbeda pendapat mengenai sah dan tidaknya nikah sirri (ada wali dan dua orang saksi), tetapi mereka semuanya sepakat bahwa nikah sirri adalah tercela/makruh. Saya tambahkan bahwa hal itu tidak pantas dilakukan oleh orang-orang terhormat, karena khilaful aula dan bertentangan dengan as-sunnah.
Sekarang, bagaimana sikap kita menghadapi perbedaan pendapat fuqaha? Dalam hukum Islam ada ketentuan bahwa keluar dari perbedaan pendapat hukumnya wajib. Dalam hal ini, Allah SWT memberikan isyarat; "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya (al-Qur'an dan as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kapada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (QS. An-Nisa' [4] : 59).
"Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya, akan  dapat mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Apabila bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu, tentulah kamu mengikuti syaitan, kecuali sebahagian kecil saja di antara kamu". (QS. An-Nisa' [4] : 83).
Dari kedua ayat di atas dipahami bahwa Allah SWT melimpahkan wewenang kepada Ulil Amri untuk menyelesaikan perbedaan pendapat, supaya tidak terjadi kekacauan dalam masyarakat. Maka lahirlah suatu ketentuan; "Pemerintah menghapuskan perbedaan pendapat".
IV.   Nikah Sirri dalam Praktek Realita
Kenyataan di lapangan, kadang-kadang suami/isteri tidak mampu membuktikan hubungan perkawinannya sekalipun mereka sudah berusaha, karena disebabkan wafatnya walinya dan atau saksinya, malahan kadang-kadang suami atau istri, sehingga tidak mendapatkan hak-hak yang diakibatkan oleh perkawinan itu.
Mengingkari perkawinan berarti secara otomatis mengingkari sahnya anak syar'iy, sehingga korban kerugian tidak dapat dihindari. Dan yang paling banyak merasakan itu adalah isteri, apalagi kalau sempat punya keturunan yang diingkari oleh ayahnya. Betapa banyak kasus akibat nikah sirri yang tidak dapat diselesaikan di pengadilan agama.


V.       Pentingnya Pencatatan Nikah dalam Syari'at Islam
Para ulama kontemporer memandang perlunya pencatatan nikah dan diatur dengan perundang-undangan pada setiap Negara Islam dewasa ini. Pencatatan nikah dewasa ini tidak kurang pentingnya dibandingkan dengan kesaksian. Kalau kesaksian disyaratkan bagi sahnya nikah, demi melindungi hak-hak dan menjaga harga diri akibat perkawinan, sedang penyaksian pada perkawinan hanya merupakan wasilah bukan tujuan (gayah) maka apabila wasilah tersebut tidak efektif lagi untuk mencapai tujuan yaitu melindungi hak-hak, maka pada gilirannya syari'at Islam tidak melarang untuk memperkuat/mendukung wasilah itu dengan wasilah yang lain, seperti pencatatan nikah. Malahan hal itu diperintahkan. Kalau nikah tidak sah tanpa saksi dan/atau pengumuman maka nikah yang tidak dicatat dewasa ini adalah tidak sah (pasal 2 (2) UU No. 1 Th. 1974 tentang perkawinan) dan bagi pelanggarnya dikenakan sanksi karena melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
VI.    Penutup
1.      Kesimpulan
Nikah adalah sebuah bentuk ibadah yang bukan hanya terkait antara hamba dengan Tuhannya namun juga erat kaitannya dengan sesama manusia. Karena itulah, nikah sirri yang dipahami sebagai nikah yang tidak terdaftar/tercatat di pencatatan nikah, sekalipun ada wali dan dua saksi, tetap tidak sah. Karena akan memberikan dampak negative dalam beberapa aspek termasuk bagi istri dan keturunannya.
2.      Saran
Dengan pemahaman yang baik akan substansi dan urgensi pencatatan nikah, semoga dapat memacu dan memotivasi kita untuk lebih mengedepankan kebaikan dan kemashlahatn bersama.

Sekian & terima kasih.


*Disampaikan dalam Diskusi Ilmiah tentang Nikah Sirri yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia; Wadah Musyawarah Ulama, Zuama', dan Cendekiawan Islam Kota Makassar pada hari/tanggal: Sabtu, 20 Maret 2010 di Gedung Islamic Center (IMMIM) Makassar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar